TAWASSUTH.ID – Dayah adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Provinsi Aceh, Indonesia, yang telah memainkan peran penting dalam melestarikan tradisi pendidikan Islam, memastikan bahwa nilai-nilai agama dan warisan intelektualnya terus hidup. Selain berperan sebagai “inkubator pengetahuan”, Dayah sebenarnya telah berkontribusi sebagai jembatan penghubung antar generasi dan mengukir peradaban dunia.
Kita tidak dapat sepenuhnya menghargai peran Dayah tanpa terlebih dahulu memahami komitmen Dayah menjadi jembatan penghubung antar generasi dengan melestarikan tradisi belajar mengaji. Para pelajar muda di Dayah belajar dari para ustadz dan alim ulama yang lebih berpengalaman, menjembatani jarak antar generasi dalam pengetahuan agama dan budaya. Para ulama dan guru di Dayah bertindak sebagai penjaga pengetahuan dan mewarisi tradisi lisan yang turun-temurun. Dayah juga telah berhasil melestarikan nilai tradisi pendidikan Islam dalam masyarakat Aceh selama berabad-abad, istilah ini dikenal dengan Intat Beut. Tradisi Intat Beut ini adalah tradisi masyarakat di sekitaran dayah untuk mengantar anak-anak mereka yang sudah berusia enam atau tujuh tahun ke rangkang (pondok kecil), balee (balai mengaji), meunasah (masjid kecil) dan rumoh teungku (rumah Ustadz atau guru mengaji). Tradisi ini telah membantu menghasilkan cendekiawan Muslim yang berkualitas tinggi dan tetap bertahan meskipun munculnya pendekatan pengajaran yang lebih modern. Sebut saja Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Syeikh Abdurrauf As- Singkili, sampai ke ulama yang lebih kontemporer yang kita kenal sekarang dan berada di sekitar kita seperti Abu Tumin Blang Blahdeh, hingga Abu Mudi Samalanga.
Selain dikenal sebagai ulama yang karismatik dan pendiri madrasah Islam di Sumatera, Syekh Syamsuddin juga dikenal karena upayanya untuk mendorong perdamaian dan kerukunan antara orang-orang dari berbagai etnis dan agama. Dia berusaha untuk menciptakan lingkungan di mana berbagai kelompok budaya dan agama dapat hidup berdampingan dengan baik. Berikutnya, selain karya Hujjat al-Siddiq, yang merupakan kontribusi intelektual dari Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, beliau juga memainkan peran penting dalam reformasi sosial di Aceh. Beliau dengan tegas mendorong
penerapan prinsip-prinsip moral dan etika Islam dalam masyarakat dan melarang praktik- praktik yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Upaya Syekh Abdurrauf As- Singkili dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang mendorong pemikiran Islam, dan keberanian Syekh Abdurrauf As-Singkili sangat penting dalam melindungi dan memperjuangkan agama Islam dari ancaman dan penindasan. Para ulama-ulama tersebut telah menjadi ahli di berbagai kajian Al-Qur’an, diantara nya ilmu tauhid, Fiqh/ Ushul Fiqh, Mantiq, serta Tasawwuf, bahkan ijtihad nya menjadi acuan atau rujukan utama bagi para Ustadz atau penceramah.
Lebih lanjut, hebatnya sistem tradisional yang ada di Dayah ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang pesat dalam menghadapi sistem pendekatan pengajaran modern yang terus berkembang dan berevolusi. Komitmen Dayah yang teguh terhadap sistem Pendidikan tradisional tidak hanya mempertahankan relevansinya, tetapi juga meningkatkan kapasitasnya untuk mencetak ulama yang cerdas, yang menunjukkan ketangguhan etos pendidikannya dalam dunia yang berubah dengan cepat. Bahkan dari rahim sistem ini lah muncul kampus-kampus Islam dan ma’had perguruan tinggi di Aceh. Ini membantu melestarikan dan mentransmisikan warisan budaya dan nilai agama kepada generasi berikutnya.
Dayah juga berperan penting dalam pelestarian kultur Aceh, yang merupakan bagian penting dari identitas masyarakat Aceh. Upaya pelestarian ini juga mencakup penggunaan bahasa Aceh sebagai bahasa pegantar dalam pengajaran (ngaji) Al-Qur’an dan Hadits, bentuk pelestarian lain yaitu berupa seni tradisional seperti tarian Saman yang terkenal dan meng-global, yang juga diajarkan dan sering dipentaskan di dayah memiliki pesan tersendiri, yaitu tentang kewajiban menempuh pendidikan yang tinggi, sopan santun, kekompakkan, kebersamaan, serta mencerminkan sikap kepahlawanan orang Aceh yang religius. Dengan memelihara ekspresi budaya ini, dayah telah membuktikan dan memastikan bahwa warisan Aceh yang tradisional tetap hidup dan relevan di jaman kontemporer sekarang ini, bahkan mendunia. Dan dayah akan tetap terus menjadi benteng terakhir dari esensi praktik belajar yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Dayah juga terbuka untuk mengambil peran yang lebih konsultatif bagi masyarakat luas dan kepada pemerintah, terutama pandangan atau rujukan dari pimpinan atau ulama
dayah, hal ini terbukti dari munculnya berbagai macam kebijakan yang di implementasikan oleh pemerintah daerah untuk menjawab keresahan masyarakat terhadap suatu kasus. Dayah juga telah memainkan peran penting dalam mendorong perdamaian dan kerukunan antar berbagai kelompok etnis dan agama. Melalui pendidikan dan pengetahuan agama yang Dayah berikan, Dayah telah membantu memediasi konflik dan mendorong toleransi di wilayah di mana konflik bersenjata sebelumnya terjadi.
Dayah, sebagai institusi dan melalui para ulama-ulama—semua ini adalah bintang-bintang terang yang menerangi konstelasi sejarah Islam di Aceh dan Indonesia. Mereka adalah penjaga warisan intelektual dan spiritual yang telah melestarikan tradisi pendidikan Islam, membantu melebarkan sayap Islam ke berbagai wilayah, dan merintis perubahan dalam masyarakat Aceh. Dayah sebagai tempat berlatih bagi para pelajar muda, dan para ulama sebagai guru dan pembimbing spiritual, bersama-sama membentuk fondasi yang kokoh untuk peradaban dunia yang terus berkembang. Dalam sentuhan ulama-ulama ini, Aceh dan Indonesia secara keseluruhan telah mengukir sejarah besar yang terus mengilhami dan membimbing generasi masa kini dan yang akan datang, menjadikan mereka pelajaran hidup yang tak pernah pudar. Dari Dayah hingga ke penjuru dunia, warisan dan pemikiran mereka berlanjut, membawa cahaya dari masa lalu untuk menerangi masa depan.