
TAWASSUTH.ID – Pendidikan Dayah di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya sangat memiliki peran penting dalam mencerdaskan anak bangsa, dalam artian cerdas adalah cerdas berinteraksi dengan sesama insan dan cerdas berkomunikasi dengan Allah sang pencipta Alam jagat raya ini, maka seorang santri yang sudah mondok lebih kurang 3 tahun maka dia sudah sangat bersahabat dengan kalimat “fanzur ila nafsika Summan taqilin Lil alami ilyiein Summa suflin tajid bihi sun an badian hikami lakin bihi kama dalilul Adami” artinya untuk mendapatkan keagungan dan kehebatan serta kedahsyatan kekuasaan Allah maka kita harus dan mesti melihat dengan serius alam dan kondisi di sekeliling kita, maka dengan sebuah penglihatan dan pengamatan yang cermat dan cerdas maka terbukalah hati dan jiwa kita untuk tergerak memahami lingkungan di mana kita berada, di sini seorang santri yang sudah di gembleng di pesantren dengan ilmu agama dan umum akan merasa optimis dan pasti dengan bekal yang di milikinya akan bisa bersaing dan bersanding dengan kehidupan dunia, karena sangat banyak kita lihat sekarang yang menjadi fikur-fikur pablik dan tokoh-tokoh penting, baik dalam pemerintahan atau politik berlatarbelakang pernah nyantri atau mondok di pesantren, memang di Aceh berbicara pesantren atau Dayah, ada yang namanya pesantren tradisional dan pesantren moderen atau terpadu, dimana kedua pesantren tersebut menerapkan pembelajaran kitab kuning atau di sebut dengan kitab gundul, banyak guru-guru Dayah dalam mentransfer ilmunya kepada santri selalu menyatakan kepada santrinya “Jak beut beuk ta peungeut gob dan tajak sikula beuk di pengeut le gob” artinya : “kita belajar di Dayah agar supaya kita jangan suka berbohong dan kita belajar di sekolah atau kampus supaya kita tidak bisa di bohongi oleh orang lain” pengalaman penulis yang pernah nyantri di Lembaga Pendidikan Islam Mahadal Ulum Diniyyah Islamiyyah (MUDI) Mesjid Raya (MESRA) Samalangan Kabupaten Bireun Propinsi Aceh beberapa tahun masih pada masa komplik aceh tahun 1995 dimana salah seorang guru atau bahasa anak dayah menyebutnya dengan tengku atau gure rangkang yang bernama Abiya Tarmizi Ibn Haji Umar, beliau sering mengingatkan santrinya dengan kalimat-kalimat bahwa seorang santri yang ingin sukses dan berhasil dalam belajar ilmu maka perlu memperhatikan ketentuan dan syarat belajar ilmu, yang pernah di sampaikan oleh Imam syafi’i ada 6 syarat belajar ilmu agama;
أَخي لَن تَنالَ العِلمَ إِلّا بِسِتَّةٍ سَأُنبيكَ عَن تَفصيلِها بِبَيانِ ذَكاءٌ وَحِرصٌ وَاِجتِهادٌ وَبُلغَةٌ وَصُحبَةُ أُستاذٍ وَطولُ زَمانِ
Saudaraku, tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara yaitu (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) Adanya petunjuk atau bimbingan serius ustadz (guru), dan (6) membutuhkan waktu yang lama.”
Syarat ke (5) dan ke (6) dianggap oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Tanqih al-Qaul al-Hatsis, Syarh Lubab al-Hadits, karangan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, sangat penting bagi seorang penuntut ilmu, karena belajar ilmu agama tidak boleh instan atau cepat saji, perlu dan butuh waktu yang panjang untuk mendapatkan ilmu dan berqah, menjelaskan keutamaan orang yang memiliki ilmu dan ulama. Hal ini sebagaimana Sabda Nabi Muhammad Saw kepada Ibnu Masud:
وقال النبى صلى الله عليه وسلم لابن مسعود رضى الله عنه يا ابن مسعود جلوسك ساعة فى مجلس العلم لا تمس قلما ولا تكتب حرفا خير لك من عتق ألف رقبة ، ونظرك إلى وجه العالم خير لك من ألف فرس تصدقت بها فى سبيل الله ، وسلامك على العالم خير لك من عبادة ألف سنة
Artinya:”Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bersabda kepada Abdullah bin Masud, ‘Duduknya kamu selama satu jam dalam majelis ilmu tidak menggerakan pulpen dan tidak menulis satu huruf pun lebih baik bagimu dari memerdekakan budak, dan memandangnya kamu kepada wajah orang yang berilmu itu lebih baik bagimu dari pada engkau sedekah kepada 1.000 budak di jalan Allah dan salamnya kamu kepada orang yang berilmu itu lebih baik bagi mu dari ibadah 1.000 tahun.”
Seyugianya sebagai orang Muslim , harus memiliki enam bekal dalam mencari ilmu tersebut. Menurut Imam Syafii, bekal kecerdasan, sebab banyak orang Muslim yang memiliki kecerdasan yang luar biasa, dari berbagai macam daerah dan tempat. Selanjutnya seorang Muslim sejati ketika sedang melakukan sesuatu semata-mata karena mencari keridhaan Allah SWT, harus memiliki sifat yang semangat sebab dengan sifat semangatlah kita bisa meraih apa yang kita inginkan. Selain dari semangat, sepantasnya kita sebagai pencari ilmu harus memiliki sifat yang sungguh-sungguh, sebab dalam kesungguh-sungguhan kita untuk mencari ilmu itu mendapatkan suatu kebaikan di sisi Allah SWT.
Selanjutnya adalah berkecukupan, yaitu dalam arti bekecukupan dalam ekonomi dan kesehatan, sebab tidak semua orang sama dalam pengertian kecukupan, bahkan ada yang tidak bersekolah di karenakan kekurangan secara ekonomi. Dan yang tak kalah penting dan sangat vital, seseorang yang ingin belajar ilmu agama tanpa adanya bimbingan langsung dari guru besar kemungkinan setanlah yang akan menjadi guru nya. Memiliki guru adalah salah satu syarat yang paling utama.
Dan bersabarlah, sebab mencari ilmu membutuhkan waktu yang amat panjang, bukan hanya 3 atau 7 tahun. Bahkan jika badan kita sehat dan tidak memiliki kesibukan yang hukumnya menjadi kewajiban seperti hal nya mencari rezeki untuk menghidupkan keluarga, maka kita juga dianjurkan untuk selalu mengikuti majelis ilmu.
Orang-orang yang sungguh-sungguh dan yakin dalam belajar yang akan mendapatkan ilmu yang banyak dan berbobot sehingga tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan terutama diri sendiri lebih-lebijh orang lain, sehinga dia akan bahagia hidup di dunia dan mendapatkan kemenagan takkala nanti ajal menjemputnya.
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ