Oleh: Adnan
Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) IAIN Lhokseumawe, Aceh. Email: adnanyahya50@yahoo.co.id
Ibadah haji merupakan perhelatan akbar ibadah ritual tahunan yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di Dunia, tanpa kecuali Indonesia. Populasi penduduk Muslim Indonesia mencapai 237 juta jiwa, dari 273 juta penduduk Indonesia. Jumlah jamaah haji Indonesia tahun ini mencapai 229 ribu orang. Maka, setiap tahun pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama terus meningkatkan pelayanan kepada para jamaah haji asal Indonesia, baik sebelum keberangkatan, saat berada di tanah suci (Mekah – Madinah), maupun saat pemulangan ke tanah air.
Secara empirik, memang mengelola kegiatan pelaksanaan ibadah haji itu rumit, butuh ekstra kesabaran, persiapan maksimal, dan berhati-hati. Hal ini disebabkan oleh jumlah jamaah yang dilayani lumayan banyak yang terdiri atas keragaman usia, suku, karakter, dan paham keagamaan, waktu yang relatif lama berada di Tanah suci, serta perbedaan geografis dan cuaca antara Indonesia dan Saudi Arabia. Meskipun demikian, patut bersyukur bahwa pemerintah Indonesia selalu mengedepankan sikap pro-aktif, responsif, dan progresif, dalam melayani jamaah haji Indonesia. Kita berharap, segala kekurangan dalam pelaksanaan ibadah haji tahun dapat diperbaiki dan dimaksimalkan pada tahun mendatang.
Tahun ini dibawah kepemimpinan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, akrap disapa Gus Men, pelayanan jamaah haji terus ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya. Semisal, penguatan integritas petugas haji, prioritas jamaah lansia, disediakan aplikasi ‘Jamaah Lapor Gusmen’, dan setiap jamaah haji mendapatkan 10 liter air zamzam yang pada tahun sebelum hanya memperoleh 5 liter saja. Bahkan, Gus Men merespon cepat terkait kondisi jamaah haji yang sempat terlantar di Muzdalifah dan terlambat memperoleh makanan saat berada di Mina. Aksi protes Gus Men terhadap penyedia layanan haji (masyariq) di Mekkah patut mendapatkan apresiasi. Sebab, ini bagian dari praktek kepemimpinan melayani yang patut diteladani dan didukung secara kolektif, agar ke depan pelayanan haji akan semakin baik.
Pemimpin melayani
Adalah, Robert K Greenleaf (1990 – 1904), seorang ilmuan berkebangsaan Amerika, sekaligus pendiri gerakan kepemimpinan modern, dalam sebuah artikelnya pada tahun 1970 mempopulerkan sebuah adagium dalam konteks kepemimpinan modern yakni: servant leadership, bermakna kepemimpinan yang melayani (Taufiqurokhman, 2017: 69). Kehadiran pemimpin bukan hanya sekadar untuk dipuja-puji oleh pengikut, simbol dalam sebuah komunitas/ kelompok/ golongan/ organisasi/ daerah/ negara, dan pembeda (distingsi) antara atasan dengan bawahan secara administrasi dan hierarki kekuasaan. Tapi, kehadiran pemimpin itu untuk melayani segenap orang yang dipimpinnya.
Secara sosiologis, masyarakat merindukan kehadiran pemimpin yang melayani, bukan ingin dilayani. Pemimpin menjadi tempat berkeluh-kesah, melampiaskan semua persoalan hidup dalam berbangsa, bernegara dan beragama, dan menjadi medium aspiratif dalam mengentaskan (kuratif/ problem solving) berbagai masalah dalam pergulatan kehidupan, baik di bidang pendidikan, politik, sosial budaya, ekonomi, maupun agama. Di alam bawah sadar publik, model pemimpin yang seperti ini dianggap langka di era kepemimpinan modern dewasa ini. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kepekaan sosial (social of sense) dan kepekaan terhadap krisis/ masalah yang mendera (sense of crisis) masyarakat pada diri para pemimpin lintas sektoral. Akhirnya, hilang kepercayaan masyarakat terhadap model kepemimpinan seperti ini.
Secara praktis, tidak mudah untuk mewujudkan kepemimpinan yang melayani. Ia membutuhkan kemampuan komunikasi efektif, mampu memobilisasi massa, dan memiliki ketajaman nurani dalam pelayanan. Artinya, kepemimpinan melayani tidak bisa berpura-pura, hipokrit, bersandiwara, dan pencitraan semata, tanpa dibarengi ketulusan, kejujuran, dan kepekaan. Maka, Larry C Spears (1955), seorang CEO pada lembaga Center for Servant Leadership yang didirikan oleh Greenleaf, mengungkapkan bahwa ada lima karakteristik kepemimpinan melayani, yaitu listening (kemampuan mendengar), empathy (mampu berempati), healing (menjadi penawar), persuasion (persuasif dalam berbuat), dan conceptualization (mampu berpikir kritis dan konseptual).
Secara teologis, kepemimpinan melayani ini dilakoni dan dipraktekkan oleh Rasulullah Saw dalam memimpin umat. Ia merupakan pribadi yang sangat humanis kepada sesama, empati yang luas terhadap umat, memiliki tujuan yang kuat untuk menumbuhkan keimanan pada umat, serta pemaaf dan penyayang (Qs. At-Taubah: 128). Bayangkan saja, Rasulullah Saw bukan hanya memikirkan keluarga dan sahabatnya pada masanya saja, akan tetapi ia sejak dulu telah memikirkan umatnya hingga akhir zaman kelak. Sebuah riwayat dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Aku rindu ingin sekali berjumpa dengan saudara-saudaraku, para sahabat berkata: “Bukankah kami saudara-saudaramu? Ia bersabda: “Kalian adalah para sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang-orang yang beriman kepadaku walaupun mereka belum pernah berjumpa denganku”.
Momen perbaikan
Sebab itu, kepemimpinan melayani dalam mengelola jamaah haji patut menjadi perhatian semua pihak yang terlibat di dalamnya, tanpa kecuali penyedia layanan haji (masyariq). Ke depan, kita berharap jamaah haji Indonesia dapat beribadah dengan tenang dan nyaman, serta mendapatkan fasilitas terbaik dari penyelenggara ibadah haji. Jangan sampai semangat untuk menunaikan ibadah haji umat Islam Indonesia memudar hanya gara-gara secuil persoalan dalam pelayanan haji. Maka, respon cepat Gus Men tersebut dapat menjadi momentum untuk perbaikan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji secara mendalam (holistic) dan menyeluruh (komprehensif) pada tahun mendatang. Semoga!