SINDIKASI MEDIA MODERASI BERAGAMA

Fiqh

Melihat Kasus Jessica Wongso dalam Hukum Pidana Islam

Oleh: Andi Mardika, Lc., M.A. (Dosen Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe)

TAWASSUTH.ID – Jessica Wongso adalah seorang wanita Indonesia yang terlibat dalam sebuah kontroversi dan kasus hukum terkenal yang melibatkan kopi beracun atau “kopi sianida.” Kasus ini mendapatkan perhatian luas di Indonesia dan menjadi headline berita selama beberapa waktu.

Kasus ini terjadi pada tahun 2016. Jessica Wongso dituduh telah memberikan kopi beracun kepada sahabatnya, Wayan Mirna Salihin, yang menyebabkan kematian Mirna. Pada tanggal 6 Januari 2016, Jessica Wongso bertemu dengan Mirna dan membeli minuman kopi di sebuah kafe di Jakarta. Mirna kemudian meminum kopi tersebut dan beberapa saat kemudian jatuh sakit dan meninggal dunia. Setelah investigasi, polisi menemukan bahwa kopi tersebut mengandung sianida.

Jessica Wongso ditangkap dan diadili atas tuduhan pembunuhan yang direncanakan dan direncanakan secara matang. Selama pengadilan, bukti-bukti disajikan untuk mendukung tuntutan tersebut, termasuk rekaman CCTV di kafe dan kesaksian saksi mata. Selain itu, penyidik forensik juga mengonfirmasi bahwa sianida ditemukan dalam sampel kopi yang dikonsumsi oleh Mirna.

Pada akhirnya, Jessica Wongso dinyatakan bersalah dan dihukum penjara seumur hidup oleh pengadilan Indonesia pada Februari 2017. Kasus ini mendapatkan perhatian media dan publik yang besar, sebagian karena sifatnya yang unik dan mengerikan, dan sebagian karena perhatian terhadap persidangan dan perkembangan dalam kasus tersebut.

Kini kasus kopi sianida Jessica Wongso kembali viral setelah Netflix merilis film dokumenter berjudul Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso pada, Kamis (28/09/23).

Lalu bagaimana kasus tersebut ketika dilihat dari kacamata hukum pidana Islam?

Dalam hukum pidana Islam, pembuktian dalam kasus pembunuhan harus mengikuti prinsip-prinsip yang telah diatur dalam hukum syariah. Beberapa prinsip umum yang berlaku dalam kasus seperti kasus Jessica Wongso, yang melibatkan tindakan pembunuhan dengan racun, meliputi:

  1. Pengakuan Pelaku: Pengakuan dari pelaku pembunuhan di depan otoritas yang berwenang juga bisa digunakan sebagai bukti. Namun, pengakuan harus diberikan secara bebas tanpa tekanan.
  2. Saksi: Dalam hukum pidana Islam, diperlukan saksi-saksi yang dapat memberikan kesaksian atas tindakan pembunuhan. Syarat dua orang saksi atau lebih yang adil dan dapat dipercaya. Saksi-saksi harus memiliki pengetahuan langsung tentang kejadian tersebut.
  3. Bukti Racun: Dalam kasus pembunuhan dengan racun, bukti bahwa racun tersebut digunakan untuk membunuh korban harus dijelaskan dengan baik. Bukti fisik seperti sisa-sisa racun atau uji forensik yang mendukung klaim ini dapat digunakan.
  4. Kesaksian Orang yang Terbunuh: Kesaksian dari orang yang telah terbunuh sebelum meninggal juga bisa digunakan sebagai bukti. Misalnya, jika korban sebelum meninggal menyebutkan bahwa dia telah diracuni atau mencurigai seseorang, kesaksian ini bisa dianggap penting.
  5. Penyelidikan dan Pengadilan yang adil: Seperti dalam hukum pidana Islam, penyelidikan dan pengadilan harus dilakukan dengan adil dan memastikan hak-hak individu dihormati.

Penting untuk dicatat bahwa hukum pidana Islam seringkali melibatkan prosedur yang sangat ketat dan harus diterapkan oleh otoritas yang berwenang di bawah kerangka hukum yang sesuai. Hukuman mati dapat diterapkan dalam kasus pembunuhan di bawah hukum pidana Islam, tetapi hanya jika bukti yang kuat dan sahih ada. Dalam kasus seperti kasus Jessica Wongso, semua bukti dan saksi harus diuji dan diselidiki sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

Namun, penting untuk diingat bahwa hukum pidana Islam, seperti yang dijelaskan sebelumnya, harus diterapkan dengan adil dan memastikan hak-hak individu dihormati. Prinsip-prinsip keadilan, seperti prinsip “keingkaran keraguan,” harus dijunjung tinggi, yang berarti bahwa hakim harus memastikan bahwa tidak ada keraguan yang masuk akal dalam kasus tersebut sebelum menetapkan hukuman terhadap pelaku.

Salah satu kaidah fikih yang digunakan sebelum memutuskan perkara pidana adalah “al-Hudud tasqutu bi al-shubhat” berarti bahwa hukuman-hukuman hudud (hukuman yang telah ditetapkan dalam Islam untuk kejahatan tertentu seperti zina, pencurian, minuman keras, dan sebagainya) tidak boleh diterapkan kecuali jika bukti yang kuat dan sahih tersedia tanpa keraguan apa pun. Dalam konteks hukum pidana Islam, ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dihukum dengan hukuman hudud jika ada keraguan atau ketidakpastian dalam bukti yang mengarah pada kesalahan seseorang.

Dalam kasus Jessica Wongso, tidak ada pengakuan dari Jessica bahwa dia telah membunuh mirna dengan racun dan tidak adanya saksi langsung yang melihat bahwa Jessica telah menaruh racun dalam minuman mirna sehingga terjadi perbedaan pendapat saksi ahli mengenai apakah mirna mati karena meminum racun atau bukan, maka penerapan hukuman dalam hukum pidana Islam akan menjadi masalah yang rumit. Karena pelaksanaan hukuman hudud dan hukuman qishas dalam kasus pembunuhan, harus diterapkan dengan tingkat bukti yang sangat tinggi dan tanpa keraguan apa pun.

Kaidah “al-Hudud tasqutu bi al-shubhat” menekankan pentingnya kepastian dan ketidakraguan dalam bukti untuk menghindari kesalahan dan ketidakadilan dalam penerapan hukuman bagi pelaku kejahatan.

Penting untuk dicatat bahwa dalam hukum pidana Islam, hakim memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa keadilan dipertahankan dan hak-hak individu dihormati. Oleh karena itu, hukum pidana Islam mewajibkan hakim untuk berhati-hati dalam penilaian dan menghindari penerapan hukuman yang tidak didasarkan pada bukti yang kuat dan tanpa keraguan yang masuk akal. Dalam kasus Jessica Wongso, prinsip “al-Hudud tasqutu bi al-shubhat” harus diterapkan dengan cermat dalam memutuskan tindakan selanjutnya.

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *