Oleh: Taufiqul Hadi (Dosen Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe)

Tawassuth.id – Salah satu tradisi masyarakat Aceh dalam menyambut bulan suci Ramadhan adalah melaksanakan penyembelihan hewan pada satu atau dua hari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Tradisi penyembelihan hewan ini dikenal sebagai meugang atau makmeugang. Hewan yang disembelih berupa sapi atau kambing yang jumlahnya mencapai ratusan, selain itu ada juga yang menggantinya dengan ayam atau bebek.
Hari Meugang merupakan waktu yang dimanfaatkan oleh keluarga di Aceh untuk berkumpul bersama dengan memasak dan menyantap daging. Tak jarang juga ada yang mengundang anak yatim untuk menikmati hidangan pada hari Meugang tersebut. Selain jelang bulan suci Ramadhan, Meugang juga dilaksanakan pada dua hari jelang hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Sejarah Tradisi Meugang
Tradisi ini telah sudah dimulai pada masa kerajaan Aceh Darussalam sekitar abad ke-14 M. Ada yang menyebutkan bahwa perayaan meugang ini dilaksanakan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai wujud rasa syukur menyambut datangnya bulan Ramadhan, sebagaimana yang disebutkan oleh Denys Lombard dalam bukunya “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda”.
Tradisi ini dilaksanakan oleh pihak istana yang dihadiri oleh sultan, menteri, para ulama dan pembesar kerajaan. Sultan menyembelih banyak hewan dan membagikan dagingnya secara gratis kepada rakyat sebagai ungkapan rasa syukur dan tanda terima kasih kepada rakyat, serta dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan. Pada masa perang melawan Belanda, masyarakat Aceh secara mandiri melanjutkan tradisi pemotongan sapi untuk merayakan hari Meugang. Sehingga tradisi tersebut tetap lestari dan mengakar dalam budaya masyarakat Aceh hingga saat ini.
Nilai Sosial dalam Tradisi Meugang
Tradisi Meugang di Aceh tidak hanya sekadar kegiatan memasak dan menyantap daging sebelum memasuki bulan Ramadhan, tetapi juga mencerminkan nilai sosial yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Salah satu nilai sosial utama yang terkandung dalam tradisi ini adalah gotong royong dan kebersamaan. Masyarakat Aceh saling membantu dalam proses pemotongan hewan, memasak, hingga membagikan makanan kepada tetangga dan kaum yang kurang mampu. Sikap tolong-menolong ini mempererat hubungan antarwarga dan menumbuhkan rasa solidaritas dalam komunitas.
Selain itu, Meugang juga menjadi momen untuk memperkuat kepedulian sosial. Dalam tradisi ini, mereka yang memiliki rezeki lebih berbagi daging kepada fakir miskin dan yatim piatu, sehingga semua orang dapat merasakan kebahagiaan menyambut bulan suci Ramadhan. Sikap dermawan yang ditanamkan melalui Meugang menunjukkan bahwa masyarakat Aceh menjunjung tinggi nilai keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Meugang tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga sarana untuk memperkokoh nilai-nilai sosial yang mempererat persaudaraan dalam masyarakat.