TAWASSUTH.ID – Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima bagi umat Islam yang wajib dilaksanakan oleh yang mampu secara fisik dan finansial. Setiap tahun jumlah jamaah haji semakin bertambah dari berbagai negara yang berhaji ke Mekkah, tidak terkecuali dari Indonesia. Jumlah jamaah haji yang terus meningkat setiap tahun di satu sisi merupakan hal yang positif sebagai gambaran tingginya kesadaran umat Islam untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Namun di sisi yang lain menimbulkan masalah karena kurangnya persiapan dari panitia haji di Arab Saudi. Sehingga hampir setiap tahun terjadi peristiwa yang tidak diharapkan kepada jamaah haji.
Masih segar diingatan kita, dalam pelaksanaan Haji tahun 2023 terjadinya insiden muzdalifah di mana ribuan jamaah merana dan sengsara karena terpanggang terik matahari berjam-jam-jam dari pagi hingga siang hari sehingga menyebabkan sejumlah jamaah meninggal. Peristiwa ini menjadi perhatian khusus dari panitia haji Indonesia dalam pelaksanaan haji tahun 2024 ini supaya tidak kembali terulang. Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, berharap insiden Muzdalifah tahun lalu tidak terulang pada penyelenggaraan haji tahun ini. Ia menyoroti pentingnya perhatian khusus terhadap prosesi mabit di Muzdalifah sebagai rangkaian puncak haji supaya berjalan dengan baik. Pemerintah harus memiliki sikap tegas dan zero tolerance terhadap perusahaan penyedia layanan transportasi di Arab Saudi. Hal ini untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di muzdalifah dan tempat-tempat krusial lainnya.
Berkaca kepada pelaksanaan haji tahun lalu, tahun ini Kemenag telah menyiapkan skema baru untuk prosesi mabit di muzdalifah dalam bentuk murur (mabit di bus) dan tanazul (kembali ke hotel) saat di Mina untuk sebahagian jamaah haji Indonesia. Skema ini diterapkan mengingat jumlah jamaah haji tahun ini mencapai 241.000 jamaah, sedangkan space area Muzdalifah dan Mina tidak bertambah. Maka dikhawatirkan akan terjadi over load jamaah di dua tempat tersebut dan berpotensi terjadinya bahaya bagi para jamaah.
Merespon skema yang diusulkan Kemenag tersebut, PBNU melalui Lajnah Bahsul Masail telah membahas hukum murur di Muzdalifah dan tanazul di Mina. Pada prinsipnya kedua hal tersebut dapat diterapkan dalam pelaksanaan haji jika bertujuan untuk menghindari bahaya dan mudharat bagi para jamaah. Syariat Islam membolehkan merubah bentuk suatu ibadah jika ada keāuzuran. Syariat Islam tidak membebankan umatnya melakukan sesuatu di luar kemampuan mereka, karena itu ada berbagai keringanan (rukhsah) dalam pelaksanaan ibadah, termasuk haji.