TAWASSUTH.ID – Kita menuju 2024. Orang-orang sibuk berpolitik. Konon, politik itu hiburan. Mereka bersuka cita dalam politik untuk menang. Di Indonesia, politik biasa berarti menang atau kalah. Politik tak harus pemikiran-pemikiran pelik. Politik itu tepuk tangan, hujatan, fitnah, atau keluhan. Kita pastikan lagi politik mengandung hiburan bagi orang-orang ingin tertawa ketimbang merenung.
Berita-berita terbaru mengenai 2024 tentang suara diharapkan melimpah dari para kiai dan kaum santri. Mereka menjadi rebutan. Kita tak usah ikut memikirkan sampai lupa tidur dan lupa makan. Hajatan demokrasi 2024 terlalu ramai foto dan komentar. Kita makin melupa dan kehilangan tulisan-tulisan mengajak merenung sejenak atau berjarak dari keributan politik.
Pada masa lalu, tokoh berpolitik suka berdakwah tapi rajin menulis. Kini, nama itu digunakan untuk martabat universitas di Purwokerto. Kaum buku mengenali KH Saifuddin Zuhri (1919-1986). Sejak puluhan tahun lalu, ia menulis di pelbagai media cetak, berlanjut terbit menjadi buku-buku. Saifuddin Zuhri itu buku-buku dalam berpolitik dan berdakwah. Kita bakal selalu mengenang mumpung politik di Indonesia makin ribut dan dakwah tak melulu melalui tulisan.
Warisan-warisan penting dibaca lagi sebelum politk makin panas: Kaledioskop Politik di Indonesia (1981) dan Unsur Politik dalam Dakwah (1982). Tulisan-tulisan pendek dibukukan menuntun kita berpikir panjang: mengenang dan “meramalkan” nasib Indonesia. Buku-buku itu pembuktian bahwa politik dan dakwah bukan sekadar lisan.
Di sejarah politik Indonesia, Saifuddin Zuhri pernah menjadi menteri agama. Ia berada di kabinet bentukan Soekarno saat berusia 43 tahun. Sosok memiliki khazanah pemikiran dan perwujudan-perwujudan dalam pemajuan Islam dan kebangsaan. Ia pun juru bicara demokratisasi di Indonesia.
Baca artikel selengkapnya di sini: ARINA.ID