TAWASSUTH.ID – Tulisan ini diilhami berdasarkan pengalaman penulis menjadi santri di Pesantren Nasrul Mutaallimin Ule Madon Kecamatan Muara Batu. Saat itu setelah menanamatkan Sekolah Menengah Atas, karena alasan ekonomi keluarga, penulis belum mampu melanjutkan perkuliahan di Perguruan Tinggi, penulis memilih mondok dan menuntut ilmu agama dengan berbagai pengalaman memakai sarung dan peci.
Dalam posisi menjadi santri, penulis merasakan berbagai pengalaman berharga. Dalam kebiasaan pesantren yang sederhana teman-teman sesama santri yang berasal dari latarbelakang yang berbeda beda, pesantren ternyata menjadi sebuah ajang pelatihan latihan lahir dan batin untuk membentuk manusia menjadi manusia seutuhnya. Ada beberapa hal menarik yang menjadi catatan penulis saat ini, setelah 25 tahun tidak lagi menyandang panggilan santri.
Pertama, pesantren melahirkan calon calon ilmuan islam. Hal ini dilakukan dengan sistem pembelajaran yang meski waktu itu belum didesain dengan pemberlakukan kurikulum yang mumpuni seperti sekarang ini. Namun pesantren telah menanamkan sebuah pandangan hidup bahwa menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap muslim baik laki laki dan perempuan. Dengan semangat ini , para santri menanamkan tekad untuk terus mengkaji dan mempelajari ilmu agama dalam berbagai litertatur yang terkenal dikalangan pesantren. Dengan semangat menjadi calon ilmuan islam, para santri terlihat penuh keyakinan untuk belajar ilmu agama baik, fiqih, tasauf, bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu lain. Banyak santri yang menjadikan hal ini menjadi motivasinya untuk menjadi ulama, dan hal ini kita menjadi kenyataan sekarang ini.
Dari segi metode pembelajaran ada hal menarik yang dilakukan di pesantren yaitu diskusi dan hukuman. Diskusi dilakukan untuk menelaaah berbagai isi kitab yang sedang dipelajari antara guru dan muridnya. Diskusi ini sering terjadi sampai waktu yang lama, apalagi menyangkut tema tema yang menjadi perhatian dari para santri sesuai dengan kemampuannya. Metode lain adalah penghukuman melalui tambahan hafalan ayat atau hadist bahkan materi-materi pembelajaran apabila santri melakukan kesalahan-kesalahan.
Kedua, pesantren membentuk karakter manusia mandiri. Hal ini terlihat dari penerapan kebiasaan kebiasaan sehari-hari yang harus dilakukan santri. Hal ini dimulai dari mengurus semua kebutuhan dan kegiatan yang harus dilakukannnya sehari mulai dari memasak, berbelanja, makan minum, mandi, bahkan sampai tidur sekalipun. Semua kegiatan kegiatan ini harus dilakukan oleh santri dengan tetap menjaga waktu waktu yang telah diatur untuk proses pembelajaran. Ini yang kemudian melatih para santri untuk dapat mengatur kehidupan hari-harinya.
Meski usianya masih relatif muda, bahkan ada santri yang masih katagori anak-anak, ia sudah dituntut untuk dapat mengatur segala kebutuhan hidupnya selama berada di pesantren. Santri juga dituntut untuk dapat menyesuaikan kebutuhan hidupnya dengan kemampuan ekonomi keluarganya yang terlihat dari besaran kiriman dari orang tuanya dikampung. Rumusnya makan sederhana kangkung dan ikan asin sudah biasa. Sesekali dapat “tambahan energi” bila ada kenduri dan musim Maulid Nabi.
Dalam konteks ini biasanya jumlah kiriman orang tuanya tidak sebanding dengan kebutuhan hidupnya. Menghadapi kondisi seperti inilah santri terpaksa mengatur hidupnya sendiri. Pengalaman penulis, santri harus bisa berbelanja sendiri, masak, mencuci sarung dan pakaian, menjemur tilam dan bantal. Kebiasaaan inilah yang kemudian menempa para santri untuk menjadi manusia mandiri yang akan menjadi bekal kehidupannya di masa mendatang.
Ketiga, pesantren melatih bakat dan minat santri. Hal ini ditandai dengan adanya pengelompokan kemampuan santri sesuai dengan bakat dan minatnya. Dalam penerapannya dilakukan dengan kegiatan muhadharah. Kegiatan ini dilakukan secara rutin dalam setiap minggu (biasanya malam jum’at). Ini menjadi lahan untuk melihat bakat dan minat santri yang lain untuk dapat menjadi perhatian khusus dari para guru yang dimiliki oleh murid-muridnya.
Diantara bakat dan minat yang dimiliki para santri yang keperluannya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini adalah kemampuan menjadi imam. Harus kita akui bahwa imam-imam yang ada saat ini adalah hasil dari kerja pesantren-pesantren dalam memetakan bakat dan minat yang dimiliki oleh para santrinya. Dengan melihat kemampuan dan keinginan para santrinya, pesantren dapat memberikan perhatian yang lebih kepada para santrinya untuk terus memotiviasi dirinya. Karena ada keinginan inilah, pembelajaran tambahan yang dilakukan tidak menjadi hal yang memberatkan bagi santri.
Contoh lain adalah lahirnya para pendakwah saat ini berkat adanya kegiatan muhadharah. Bakat dan minat yang dimiliki oleh santri dalam berbicara menjadi sarana lain untuk menunjukkan bakatnya. Karena ia berkeinginan untuk itu, maka ia akan menambah amunisi kemampuannya untuk lebih dibandingkan dengan yang lain. Jika kita lihat saat ini banyak penceramah bahkan pendakwah ternama saat ini, masa kecilnya adalah santri yang kerap latihan pidato di balee-balee dan peralatan sederhana yang dimilki pesantren ketika itu.
Dalam bidang seni suara santri juga dilihat kemampuannya. Hal ini dapat dilihat dari kelebihan-kelebihannya dalam memberikan irama-irama terhadap pesan-pesan keagamaan sehingga menjadi menarik tidak membosankan. Adanya irama dan bait bait qasidah dan irama zikir menjadi sarana santri dan menjadi produk unggulan pesantren yang sampai saat ini dianggap masih menjadi kelebihan.
Keempat, pesantren mendidik kemampuan ekonomi.Hal ini dilakukan dengan usaha usaha kecil kecilan yang dilakukan di lingkungan pesantren. Saat penulis menjadi santri ada teman teman santri yang “membuka” kios-kios kecil di kamarnya. Hal ini sangat membantu para santri untuk mendapatkan kebutuhan sehari harinya. Dalam konteks yang lebih besar, ada juga teman-teman penulis yang waktu itu menjadi pekerja pada usaha ayam potong dan udang yang dimiliki warga sekitar pesantren. Hal ini kemudian menjadikan semangat santri dalam berwirausaha yang kemudian menjadi bekal dalam kehidupannya di masa mendatang.
Relevansi Saat Ini
Empat kebiasaan pesantren ini yang penulis rasakan telah membentuk para santri untuk menjadi manusia seutuhnya. Meski tidak semua santri diproyeksikan dan mampu menjadi harapan ummat, namun lambat laun hasil tempaan pesantren di masa dulu kini mulai dirasakan. Hal ini kita bisa merasakan dari banyak produk-produk pesantren masa lalu yang hasilnya mulai dirasakan sekarang ini.
Sebagai contoh kegiatan pembelajaran di pesantren yang meski dianggap tradisional waktu itu telah banyak melahirkan ulama ulama yang memiliki ilmu agama yang kuat. Ulama ulama ini menjadi sumber ilmu dan panutan masyarakat saat ini di berbagai daerah. Tidak hanya kemampuan “tambahan” mereka selama menjadi santri dulu kini telah menjadikan mereka menjadi orang orang yang dipercaya masyarakat untuk menjadi imam dan penceramah.
Jika kita lihat di Indonesia banyak para penceramah dan pendakwah kondang yang dulunya adalah mantan-mantan santri yang pernah makan indomie dan ikan teri. Berbagai pengalaman yang dirasakannya ketika menjadi santri dijadikan modal kekuatannya dalam menghadapi tantantan hidup yang dialami. Seni menghadapi berbagai problema kehidupan saat menjadi santri menjadi bekal kehidupannya dalam memahami hidup yang sesungguhnya.
Tidak hanya dalam konteks agama, pesantren juga melahirkan banyak umara yang memimpin pemerintahan dalam berbagai tingkatan baik daerah bahkan nasional. Saat ini kita bisa melihat banyaknya pemimpin pemimpin di negeri ini yang lahir dari rahim pondok pondok pesantren. Ini menunjukkkan bahwa pola pendidikan dan pengasuhan ala pesantren telah mampu melahirkan kemampuan leadership yang mumpuni. Ini juga menjadi salah satu hasil dari latihan dan cobaaan saat menjadi santri yang bisa dilalui dengan sempurna sehingga membentuk dirinya menjadi pribadi yang mandiri.
Dari pribadi pribadi yang mandiri inilah, para santri ikut andil dalam melahirkan kemandirian pesantren yang istilahnya kita dengarkan akhir akhir ini. Harapan yang digagas Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ini menginginkan lahirnya kemandirian pesantren dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan zaman. Kemandirian yang dimaksud bermakna pesantren akan memiliki sumber daya yang kuat dan berkelanjutan dalam menopang tiga fungsi yaitu pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat.
Tidak hanya sekedar tekad, Kementerian Agama yang dinahkodai Gus Men yang juga mantan santri ini memberikan perhatian yang serius terhadap upaya melahirkan kemandirian pesantren di tanah air. Upaya ini dilakukan dengan pemberian bantuan, inkubasi, pelatihan bisnis, pelatihan manajemen keuangan, pelatihan manajemen pemasaran, dan peningkatan sumber daya manusia.
Tekad ini lahir mengingat tantangan yang dihadapi pesantren apalagi yang masih tradisional semakin hari semakin bertambah. Peran semua pihak termasuk Perguruan Tinggi sangat diharapkan untuk mendukung kemandirian santri dan pesantren di masa mendatang. Selamat Hari Santri 2023, dari makan indomie dan teri, mari Jihad untuk Negeri.