SINDIKASI MEDIA MODERASI BERAGAMA

Tafsir

AICIS dan Insaniyyatul Quran

Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, PhD (Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe)

TAWASSUTH.ID – Beberapa hari yang lalu, Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2024 ditutup, tepatnya tanggal 4 Februari 2024. Kali ini konfrensi internasional yang digelar secara tahunan oleh Kemenag mengangkat tema tentang “krisis kemanusiaan”. Dengan mengundang berbagai pihak dan para pakar, baik dari dalam maupun luar negeri, konfrensi ini menitipkan sebuah pertanyaan besar kepada para peserta, dan tentu kepada semua insan akademik, “bagaimana peran agama dalam menangani krisis kemanusiaan”. Sebuah tema yang menggambarkan adanya kerusakan moral akut di tengah tatanan kehidupan “moderen” saat ini. Semua berlari, berlomba menuju yang namanya “kemajuan”. Namun sepertinya terlalu besar harga untuk sebuah kemajuan yang dicita-citakan. Memajukan manusia dengan menghancurkan kemanusiaan itu sendiri.

Isu kemanusiaan, tepatnya krisis kemanusiaan, baik yang didiskusikan dalam forum AICIS atau forum-forum lainnya, menegaskan adanya disorientasi pada konsep pembangunan dan pendayagunaan SDA dan SDM sekaligus. Tema ini merupakan penegasan atas apa yang disuarakan al-Quran sejak 14 abad lalu. Sikap individualistik dan ambisi materil (materialistik) telah membuat manusia lupa tetang jati dirinya sebagai makhluk sosial yang diciptakan untuk hidup bersama, bekerja sama, saling berbagi dan saling membahagiakan antara satu dengan lainnya. Mereka lupa kalau manusia adalah entitas yang secara kodrati terikat dengan sesamanya dan bertanggung jawab atas lingkungannya.

Kealpaan terhadap realitas ini telah menjadikan manusia tidak berpikir kecuali dirinya sendiri (egoistic). Arogansi, keangkuhan dan kemunafikan akhirnya menjadi pakaian keseharian mereka, baik pada skala individu atau konteks sosial yang lebih luas. Konsekwensinya adalah ekploitasi dan intimidasi. Negara kuat memerangi dan menindas negara lemah, baik secara politik, ekonomi, budaya hingga tindakan militer. Pengrusakan alam dilakukan secara massif dan besar-besaran, tujuannya satu, meneguhkan kekuasaan dan hegemoni. Hakikat ini telah diisyaratkan al-Quran dalam sebuah firman Allah, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah…”, (al-Baqarah: 30).

Ayat ini menjelaskan fakta tentang rancang bangun manusia yang Allah sampaikan di hadapan para malaikat-Nya. Manusia diciptakan untuk berkuasa, namun ia sewenang-wenang dengan kekuasaan yang ada di tangannya. Ini adalah makna yang ditangkap oleh malaikat tentang jati diri manusia. Walaupun kemudian mendapat sanggahan dari Allah Swt bahwa tidak semua seperti itu. Karena ternyata ada manusia yang peduli tentang keadilan dan berprikemanusiaan. Namun tindakan anti kemanusiaan tetap saja dominan pada diri mereka. Inilah alasannya mengapa agama menjadi niscaya dalam kehidupan manusia. Ini pula hikmahnya mengapa al-Quran sejak dari awal penurunannya saat nabi masih di Mekkah, salah satu fokus utamanya adalah soal kemanusiaan.

Al-Quran dan Risalah Kemanusiaan

Konsep tauhid yang merupakan dakwah para nabi tidak lain adalah bagian dari risalah kemanusiaan yang bertujuan memanusiakan manusia.  Islam hadir untuk memerdekakan jiwa-jiwa manusia yang selama ini diperbudak oleh berbagai sesembahan dan tuhan-tuhan palsu, baik dalam wujud berhala, ideologi, ambisi, tradisi, dan lain sebagainya. Islam menegaskan bahwa tidak ada yang harus dipatuhi dan ditaati secara mutlak kecuali Tuhan. Kepatuhan kepada penguasa terbatas dan terikat pada sejauh mana kepatuhan sang penguasa kepada Tuhan. Rakyat hanya perlu patuh pada aturan yang sesuai dengan syariat Tuhan, bukan kehendak penguasa. Tidak ada yang boleh menindas dan tak ada yang berhak ditindas di bawah naungan tauhid. Di bawah aturan Tuhan, manusia semuanya dipandang sama dan setara. Status sosial dan ekonomi seseorang tidak pernah berpengaruh pada kualitas kepribadiannya di hadapan Tuhan. Tuhan hanya menilai hati dan capaian kinerja manusia.

Spirit kemanusiaan dan prinsip-prinsip pembebasan terlihat secara kongkret dalam sejumlah ayat dan surah-surah al-Quran sebagai manivestasi dari konsep tauhid. Surah al-Ma’un misalnya, satu surah dari sekian banyak surah dan ayat dalam al-Quran yang menyuarakan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kelompok tertindas. Allah berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”, (al-Ma’un: 1 – 7).

Surah ini menggambarkan latar kehidupan masyarakat jahiliyah Mekkah tempo dulu yang penuh dengan otoritarianisme, kemunafikan dan pencitraan. Potret strata sosial yang menggambarkan kesenjangan tanpa batas dan praktik ketidakadilan antara dua kelompok sosial, di mana yang satu menguasai segala-galanya serta memiliki berbagai sumber daya, manakala yang satunya dalam posisi lemah, tertindas dan tak berbadaya. Kemiskinan tumbuh subur di tengah-tengah komunitas orang kaya yang berkuasa. Anak yatim terlantar begitu saja tanpa ada kepedulian terhadap mereka, bahkan dihardik dan diusir layaknya hewan-hewan tak bertuan. Jangan pernah bermimpi adanya masa depan buat mereka. Tak ada yang namanya bantuan sosial, apalagi pemberdayaan. Kebakhilan akut adalah ciri dari masyarakat kelas sosial tinggi saat itu. Perhatikan kalimat Allah, wa yamna’una al-ma’un yang menunjukkan praktik monopoli di kalangan elite. Mereka menguasai segala-segalanya, dari urusan besar sampai hal-hal yang kecil, dan tak ada akses sama sekali bagi masyarakat kelas bawah.

Al-Ma’un dalam penuturan para ulama adalah hal-hal kecil yang dibutuhkan sehari-hari, yang jika dipinjamkan kepada seseorang takkan memudaratkan empunyanya, seperti timba, tempat makanan dan sejenisnya. Namun semua itu terhalang untuk dimamfaatkan oleh orang miskin, apalagi memilikinya, karena minus keberpihakan dari orang kaya. Kalaupun ada yang memberi, itu hanya sebatas pencitraan (riya).

Situasi yang digambarkan dalam surah al-Ma’un adalah apa yang disaksikan hari ini di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Orang-orang terkaya di dunia yang jumlahnya hanya 1 persen dari total penduduk bumi menguasai 2/3 kekayaan dunia. Kemiskinan ekstrem tumbuh sesiring dengan kekayaan ekstrem. Oleh karena itu Islam sebagai agama kemanusiaan tidak hanya hadir dengan konsep ibadah dan penghambaan mutlak kepada Tuhan, tetapi juga menitik beratkan pada ibadah sosial. Al-Quran dalam banyak ayatnya selalu menggandingkan perintah shalat dengan zakat. Sehingga keislaman seseorang akan tertolak jika hanya shalat tapi menolak syariat zakat. Inilah alasannya mengapa Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat pada zamannya. Perang ini dikenal dengan perang riddah, atau perang orang-orang murtad. Tidak hanya soal zakat atau infaq, tapi meluas ke ranah pembebasan budak yang menunjukkan keberpihakan Islam atas masyarakat lemah dalam makna yang sesungguh-sungguhnya.

Keadilan sosial dan pemerataan kemakmuran adalah bagian dari cita-cita Islam untuk umatnya yang sekaligus memerangi kesenjangan di antara mereka. Allah mengingatkan agar kekayaan tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang, “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka itu untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”, (al-Hasyar: 7). Berbagai krisis sosial yang terjadi saat ini salah satu pemicu utamanya adalah adanya kesenjangan dan disparitas pendapatan yang tidak merata antara masyarakat berpendapatan rendah, sedang dan tinggi. Hal itu diperparah karena situasi tersebut tidaklah natural, melainkan dilatar belakangi oleh egoisme kekuasaan atas masyarakat kelas bawah sehingga melahirkan eksploitasi dan intimidasi yang massif dan sistemik.

Wahyu Pertama dan Misi Kemanusiaan

Kebuasan alam liar samasekali tidak sebanding dengan keburukan prilaku manusia meskipun di bumi yang konon dikenal “beradab”. Islam mengenalkan istilah jahiliyah untuk tatanan sosial masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Kondisi itulah yang terjadi di seantero dunia saat Islam pertama sekali bertapak di tanah Mekkah. Karena itu wajar jika wahyu al-Quran yang turun pertama sekali diawali dengan firman Allah;

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ

Artinya, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan”, (al-‘Alaq: 1). 

Aktifitas membaca bukanlah hal baru sehingga perlu turun wahyu Tuhan karenanya. Walaupun memang penduduk Mekkah saat itu tergolong masyarakat yang minim membaca dan kebanyakan mereka buta huruf (ummiy). Ayat ini tidak turun semata-mata mengingatkan dan mengajak manusia agar gemar membaca, tetapi lebih kepada mengajarkan manusia bagaimana harusnya mereka membaca. Karena jika hanya membaca, waktu itu sudah ada sejumlah peradaban hebat seperti Rum dan Persia, yang itu semua tidak pernah wujud tanpa diawali dengan membaca, bahkan sebelumnya sudah ada peradaban Fir’un di Mesir. Namun semua peradaban tersebut problematik. Perhatikan firman Allah berikut ini; “Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan, dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah, dan kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya, demikianlah. Dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain, Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh”, (Dukhan: 25 – 29).

Ayat di atas berbicara tentang kegemilangan peradaban Fir’un yang bukti capaiannya masih dapat disaksikan sampai hari ini di Mesir. Lalu di mana keberadaan peradaban tersebut dari nilai-nilai kemanusiaan. Allah menyebutkan, bahwa langit tidak pernah menangisi kepergian Fir’un dengan sejumlah peninggalannya yang hebat dan megah. Fir’un sampai kapanpun adalah lambang keangkuhan, kesewenang-wenangan, ketamakan dan sejumlah predikat buruk lainnya. Ada yang hilang dari Fir’un saat ia mencapai puncak kekuasaan, yaitu sisi kemanusiaannya. Itulah yang menyebabkannya buta, kemudian dengan penuh sombong ia  berkata kepada penduduk Mesir, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (Al-Nazi’at: 24). Al-Quran merekam sepak terjang Fir’un saat berkuasa di Mesir. Allah berfirman, “Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”, (al-Qasas: 4).

Begitulah dunia hari ini mencoba menapaki sedikit demi sedikit apa yang dahulu pernah dilalui oleh Fir’un dengan peradabannya dan tentu peradaban-peradaban lainnya. Mereka adalah orang-orang yang hidup tanpa Tuhan, sehingga pada akhirnya merasa dan mengaku dirinya “Tuhan”. Itulah rahasianya mengapa Allah memerintah umat Islam mengawali bacaan mereka dengan nama Tuhan, Allah Swt. Di sinilah nantinya yang akan membedakan peradaban Islam dengan peradaban non muslim. Allah akan menuntun orang-orang yang membaca dan berilmu kepada sikap rendah hati (tawadhu’) dan saling memuliakan antara sesama serta menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Itu pula rahasianya kenapa setelah lima ayat pertama turun, Allah menyambung ayat-ayat tersebut dengan firman-Nya, “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup”, (al-‘Alaq; 6 – 7). Itulah yang terjadi pada Fir’un dan akan terjadi pada siapapun jika hidup dengan segala pencapaian dan kemjuaannya tanpa melibatkan Allah Swt di dalamnya.

Ayat di atas turun merespon sikap jahat Abu Jahal yang kaya raya dan menguasai lembah Mekkah dengan sejumlah pengikutnya terhadap rasulullah saw dan kum muslimin. Begitulah dunia hari ini yang diisi oleh manusia-manusia angkuh dengan segala capaiannya, namun mati rasa tentang nilai-nilai kemanusiaan. Melalui surah al-‘Alaq Allah menginginkan umat Islam membangun peradaban yang berlandaskan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan. Peradaban yang tidak sombong dan zalim, karena ditengarai oleh orang-orang yang meyakini dirinya lemah, hanya Tuhan yang kuat. Ia sadar pada awalnya hanyalah segumpal darah yang bergelantungan di dinding rahim (al-‘alaq), yang kemudian diajarkan oleh Allah, lalu pandai dan memiliki sejumlah capaian. Kesadaran tentang hakikat diri akan berkonsekwensi pada cara pandang terhadap dirinya dan sikapnya kepada sesama. Wallahu’alam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *