SINDIKASI MEDIA MODERASI BERAGAMA

Artikel

Anak-Anak dalam Mimpi Buruk

Oleh: Dr. Syarifah Rahmah, M.Ag (Dosen UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe)

Tawassuth.id – Dunia anak-anak hari ini tidak baik-baik saja. Ibarat rangkaian rantai yang direkatkan dan sulit di lepaskan. Kontruksi hukum serta lemahnya elemen hukum  menciptakan “aroma” kejahatan bergentayangan, dan memakan Banyak korban. Di hampir setiap daerah sampai ke pelosok desa muncul banyak kasus kekerasan, pelecehan, perkosaan, sodomi, bahkan hubungan inses (sedarah) sampai prostitusi online. 

Pelaku kekerasan adalah orang yang dikenal dekat termasuk keluarga korban. Kasus tragis dialami bayi  di Deli Serdang, seorang kakek memperkosa bayi berusia 3,5 bulan. Sang ibu bayi melapor, namun sampai hari ini belum di  kejelasan hukum. Pelecehan seksual juga  di alami  seorang anak yatim di Deli Serdang, di lecehkan dengan di cium  oleh seorang laki-laki dewasa,  orang tua korban melapor ke pihak berwajib  bagian perlindungan anak, namun tidak mendapat tanggapan. Mirisnya,  oleh Polwan mengatakan “kan cuma di cium!” Dan mereka menolak pengajuan visum untuk anak tersebut. 

Rentetan kejadian menyakitkan di atas juga ada di Aceh,  seorang santri Wati berusia 16 tahun menjadi korban Sodomi dan penyekapan yang dilakukan siswa SMA berusia 16 tahun, perbuatan kotor tersebut dilakukan pelaku tidak hanya satu kali, tapi berulang kali. Akibat perbuatan tersebut korban mengalami trauma,  korban di sekap  dalam rumah nya.  Kisah tragis di atas hanya segelintir kisah yang sulit dijabarkan. Masih banyak cerita miris dialami anak-anak Aceh, yang hampir setiap menit terus bermunculan. Predator anak tumbuh seperti jamur di musim hujan. Lembaga pendidikan sebagai tempat membentuk “kader” terdidik menjadi tempat praktik kejahatan ini.  dan terus menghantui setiap anak seperti mimpi buruk. Para relawan pekerja lapangan yang bekerja dalam naungan DP3AP2KB memperoleh data cukup signifikan, banyak kasus tidak diselesaikan di jalur hukum, atas kesepakatan dua belah pihak penyelesaian damai menjadi alternatif terakhir. 

Belum ada satu lembaga manapun yang dapat memutuskan mata rantai “kejahatan” ini. Undang-Undang Perlindungan Anak pun belum sanggup menjerat pelaku, konon lagi memberi keadilan bagi korban. Penetapan hukuman bagi pelaku di ruang pengadilan sangat nias korban. Empati titik kunci membentuk nilai kejujuran berakhir dengan kebohongan. Ketukan palu hakim hanya simbol mensahkan sebuah keputusan “cacat” hukum.

Siapa sebenarnya penyandang gelar “bersalah” apa kah pelaku, korban, pengacara, orang tua, lingkungan atau korban yang tidak bisa menjaga diri? 

Korban kekerasan dan pelecehan seksual terbanyak di alami anak-anak yang berusia labil dan belum matang akal nya. Pelaku terbanyak adalah pria dewasa, seringnya karena relasi kuasa menjadikan korban takut untuk mengatakan tidak. 

Data yang terhimpun di Komnas perempuan terkait kasus pelecehan dan kekerasan seksual di hampir seluruh wilayah Indonesia. Dari data Tahunan 2024 (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan seksual mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terutama di ranah personal, komunitas, publik, kekerasan berbasis gender online (KBGO). Jumlah kasus KGBO setiap waktu terus meningkat, menunjukkan penting nya perhatian terhadap kekerasan yang melibatkan teknologi informasi dan komunikasi. 

Temuan penting lainnya dari temuan Komnas Perempuan adalah: 

1. Pakaian Perempuan Tidak Signifikan. Komnas Perempuan menegaskan, bahwa pakaian perempuan tidak signifikan menjadi penyebab kekerasan seksual.

2. Pelaku Mayoritas Orang Terdekat Korban. Pelaku kekerasan seksual umumnya orang yang dikenal atau dekat dengan korban.

3. Dampak kekerasan seksual. Kekerasan seksual berdampak pada kesehatan seksual dan reproduksi perempuan serta dapat menyebabkan trauma berkepanjangan (PTSD).

4. Pentingnya Pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pengesahan UU ini bertujuan mberikan perlindungan lebih baik bagi perempuan. 

5. Perlu Dukungan Bagi Korban. Dukungan bagi korban sangat dibutuhkan terutama untuk pemulihan psikologi dan trauma. (Link: Komnas Perempuan)

Data dan informasi dari Komnas Perempuan bertujuan untuk memberikan gambaran utuh mengenai masalah kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak dan mendorong upaya pencegahan serta penanganan yang lebih baik. 

Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap lahirnya para “predator”anak dan perempuan! Apakah keluarga, sebagai tarbiyah pertama anak dalam menyerap ilmu pertama mereka. Atau lingkungan masyarakat peletak kehancuran mental anak. Peran teknologi di era digital mengambil peran penting dalam  membungkam otak anak dengan tontonan tanpa batas. Bisa jadi hati nurani kita telah tergerus oleh modernisasi dan meninggalkan ajaran agama sebagai sendi mensucikan hati. 

Dunia anak tidak lagi sehat penuh tantangan ibarat gunung es cukup  sulit untuk di hancurkan. Seorang paman kandung  di Kecamatan Lhoksukon dalam bulan Juli 2025,  melakukan pelecehan seksual pada ponakan nya sendiri yang masih di bawah umur. Tindakan tak pantas ini dilakukan pelaku sejak korban berusia 7 tahun. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana  (DP3AP2KB) Kota Lhokseumawe menyebutkan sebanyak 29 perempuan dan Anak di Kota Lhokseumawe telah menjadi korban kekerasan seksual sampai bulan Juni 2025. Dari 29 kasus tersebut, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, kekerasan psikis, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kasus prostitusi anak.( Data:  DP3AP2KB Kota Lhokseumawe). Kasus lain juga terjadi  Aceh Tengah korban yg masih di bawah umur menjadi korban pelecehan seksual oleh abang kandung nya sendiri.  Aceh utara juga menyimpan kesedihan  mendalam, anak di bawah umur juga mengalami tindakan perkosaan dan ancaman.

Catatan akhir tahun 2024  yang dihimpun LBH APIK Aceh mencatat adanya peningkatan kasus kekerasan dan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh. LBH APIK Aceh menyoroti perlu upaya lebih serius dalam penanganan kasus ini, termasuk peningkatan pemahaman masyarakat tentang hak-hak korban penyediaan layanan yang responsif dan aman bagi mereka. Poin Penting catatan akhir tahun LBH APIK Aceh: 

1. Peningkatan Kasus: Peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan, meskipun angka sebenarnya jauh lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. 

2. Jenis Kekerasan: Kekerasan seksual yang dilaporkan beragam, mulai dari pelecehan seksual verbal dan non- verbal hingga kekerasan fisik dan pemaksaan.

3. Penyebab: Faktor-faktor seperti rendahnya pemahaman tentang hak-hak perempuan dan anak, stigma sosial, serta kurangnya penegakan hukum yang efektif menjadi penyebab 

4. Dampak: kekerasan dan pelecehan seksual berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental korban serta dapat menghancurkan masa depan mereka 

5. Tuntutan: LBH APIK  Aceh menuntut penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku, serta peningkatan upaya pencegahan dan pemulihan bagi korban.

LBH APIK Aceh juga menyoroti pentingnya pendidikan dan sosialisasi melalui kampanye peningkatan pemahaman masyarakat tentang kekerasan dan pelecehan seksual. Menyediakan layanan dukungan yang komprehensif bagi  korban, termasuk layanan kesehatan, psikologis dan hukum. Selain itu penegakan hukum yang adil dan cepat terhadap pelaku kekerasan seksual. Masyarakat juga harus didorong untuk lebih peduli dan aktif dalam mencegah dan melaporkan kasus kekerasan seksual. 

Dengan upaya bersama dari semua pihak, diharapkan kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh dapat di tekan dan korban dapat memperoleh keadilan dan pemulihan yang mereka butuhkan.

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *